Minggu, 27 Maret 2011

Polemik Mobil Pribadi VS Angkutan Umum

Angkutan umum disinyalir memiliki peranan dilematis dalam sistem transportasi kota. Di negara-negara berkembang diperkirakan kota-kota akan mengalami ‘bencana transportasi’ karena gagal menjadikan angkutan umum sebagai prioritas namun akan menjadi ‘bencana sosial dan ekonomi’ jika di paksakan cepat berubah dari kondisinya saat ini. Banyak konsekuensi yang masih harus dipertaruhkan dalam rangka pengutamaan angkutan umum ini. Sistem angkutan umum yang dicita-citakan pastinya adalah yang cepat, massal, aman dan nyaman sebagaimana trend konsep Mass Rapid Transport (MRT). Dinegara-negara maju, peranan angkutan kereta untuk MRT sangat dominan, terutama untuk pelayanan dalam kota. Negara tetangga Malaysia misalnya MRT-nya disamping bus banyak difokuskan pada kereta Skyway, sedang Singapura secara terpadu mengembangkan sistem kereta subway dan skyway. Fakta yang terjadi di kota-kota yang menggunakan sistem light trail (seperti di Indonesia) dewasa ini terbukti sudah rumit pengontrolannya, kapasitasnya sibuk dan intensitas pelayanannya repot.

Konsep tentang angkutan umum juga mencakup lahan parkir. Di negara maju, lahan yang namanya tempat parkir khususnya pada areal di pusat perkotaan tidak lagi harus mempermasalahkan jaraknya dengan gedung tujuan. Di Amerika, tempat-tempat parkir yang jauh tersebut atau pada areal-areal tertentu yang tidak memungkinkan dilalui bus atau kereta, digunakan “Commuter” (semacam kendaraan shuttle). Kendaraan ini disengaja menjadi satu-satunya pilihan angkutan di areal tersebut. Layanan shuttle ini sangat murah bahkan gratis dibeberapa negara bagian tertentu. Namun, meskipun sistemnya begitu komprehensif ada saja potensi imbas balik dari sistem parkir ini. Penelitian terakhir pada kota-kota di Amerika menunjukkan bahwa justru pada jam-jam pelayanan angkutan tinggi, kendaraan pribadi tetap marak karena merasa lancar. Statistik penumpangnya berjumlah rata-rata 1,2 - 1,3 orang permobil perjam. Artinya, meskipun telah ada tempat-tempat parkir yang nyaman dengan fasilitas mobil shuttle, kendaraan pribadi tetap saja eksis. Apakah ini permakluman situasi berkendaraan di Indonesia ? Di Jakarta misalnya, orang lebih senang menggunakan kendaraan pribadi tentunya dengan berbagai alasan terutama karena angkutan umum tidak nyaman. Belum lagi keluhan klasik : angkutannya rawan, tidak nyaman dan berpolusi berat.

Kemudian ada trend alternatif berkendaraan berupa konsep berkendaraan cepat tanpa hambatan berjudul “jalan tol”. Masyarakat kota sangat berpengharapan besar terhadap kenyamanan yang ditawarkan jalan tol. Uniknya, jalan tol saat ini sudah sukar dibedakan dengan jalan umum biasa, sering macet, antri dan rawan kejahatan. Adapun yang membedakannya dengan jalan umum mungkin adalah karena pengendara diwajibkan membayar ongkos tol yang pastinya akan terus naik.
Di Amerika, perusahaan pengelola jalan tol sangat diawasi oleh UU dan kebijakan pemerintah. Keberadaan jalan tol harus berdasarkan standar kelayakan yang berprinsip dari regulasi pemerintah dan legitimasi publik. Jalan tol dipersyaratkan harus tetap lancar, minim kecelakaan dan kejahatan serta dilengkapi dengan marka jalan yang lengkap. Apabila semua persyaratan tersebut tidak dapat dipenuhi maka toleransi yang diambil oleh pemerintah adalah mengubah status jalan tol tersebut menjadi jalan umum biasa.
Di Eropa angkutan umum kota sudah sejak lama menjadi prioritas pemerintah. Dulu semua kota besar disana rata-rata mempunyai angka kepemilikan kendaraan pribadi yang tinggi. Pada saat sistem transportasi KA dan Bus telah dibangun dengan baik, didapatkan fakta bahwa angkutan umum akhirnya mereduksi sebanyak 20 – 30 % penumpang kendaraan pribadi perkilometernya. Belakangan ini sesuai kesepakatan Uni Eropa, kota-kota di eropa saling bersaing dalam komitmen untuk memberdayakan angkutan umum yang dikombinasi dengan peraturan pembatasan mobil pribadi.
Dinegara-negara berkembang secara umum angkutan umum juga memainkan peranan krusial meskipun dengan cerita yang berbeda. Mayoritas kota di Asia, Amerika Latin dan Afrika, alat transportasi dalam bentuk angkutan bus mencapai 50 – 80 % dari total kendaraan. Dan bahkan bus-bus ini sampai ‘overcrowded’. Dibandingkan dengan negara di Eropa, negara-negara berkembang memiliki penumpang angkutan umum yang rendah. Hal ini menggambarkan bagaimana ketidakmampuan jumlah bus untuk mengimbangi petumbuhan penduduk. Artinya meskipun bus banyak, jumlah penduduk yang harus dilayani lebih banyak lagi dan terus bertambah.
Diantara kota-kota besar dunia secara umum berdasarkan komposisi jumlah penduduk justru di Australia dan di AS-lah pemakaian angkutan umum lebih sedikit. Pada kenyataannya, di AS angkutan umum hanya digunakan kurang dari 5% oleh penduduk kota, kecuali beberapa kota misalnya di New York dan Chicago yang fasilitasnya memang sangat mendukung sehingga angkutan umum sangat populer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar